Wejangan cak nuN
Cak nun;
Tatkala kututurkan kepadanya ada tujuh tingkat kependekaran, tamuku itu cepat-cepat menyahut "Pastilah tak sebuah tingkat pun yang aku tergolong di dalamnya."
"Pendekar tingkat pertama berada dalam persoalan apakah ia bisa bertarung atau tidak," kataku.
"O, tak bisa aku berkelahi," sahutnya, "paling jauh aku belajar bergaul."
"Pada kependekaran tingkat kedua persoalannya tak hanya bisa bertarung atau tidak, tapi jurus atau senjata apa yang ia andalkan."
"Pantaslah orang pergi berguru, bersekolah, lantas pergi ke medan perang persaingan dan pergulatan."
"Tingkat berikutnya mempersoalkan berapa macam senjata atau jurus yang ia miliki."
"Pahamlah aku kenapa orang begitu semangat merintis kekuasaan dan modal yang tak ada batasnya."
"Kependekaran keempat tak mempedulikan apakah seseorang punya satu atau banyak senjata, sebab yang penting seberapa tinggi penguasaannya atas senjata atau jurus yang ia punyai."
"Pasti tak setiap peperangan mengandalkan kejujuran, sehingga soal penguasaan jurus dan senjata itu bisa juga diwujudkan melalui kerekatan pergaulan, koneksi, lobby, atau integrasi dan subordinasi terhadap kekuasaan yang berlaku."
"Kemudian kependekaran tingkat kelima tak menggantungkan diri pada pemilikan jurus dan senjata, juga tak ada urusan dengan penguasaan atas jurus dan senjata; sebab yang penting apakah tangannya bisa dijadikan pedang kapan diperlukan sebagai pedang, atau menjadi cambuk kapan diperlukan sebagai cambuk; dengan kata lain apakah diri sang pendekar itu sendiri senantiasa siap menjadi jurus dan senjata."
"Pendekar semacam itu pasti amat sakti, bisa menghilangkan jejak kakinya, bisa lolos dari pandangan manusia, bisa berubah setiap saat menjadi apa pun saja. Ia amat berbahaya."
"Adapun pendekar pada tataran keenam tidak mengutamakan jurus, senjata, penguasaan diri serta keserbasanggupan, sebab yang penting baginya ialah bagaimana mengenali letaknya di hadapan musuh, atau bagaimana memilih musuh yang dengan sendirinya tak memerlukan segala jurus, senjata dan penguasaannya."
"Betapa harus sangat berhati-hati kita menghadapi pendekar sakti seperti itu."
"Dan akhirnya, kependekaran tingkat ketujuh..."
"Aku tahu!" tamuku memotong, "Ialah orang dungu yang pengenalannya terhadap pertarungan, senjata, jurus, penguasaan, serta musuh-musuh - telah menghilangkan hakikat dari itu semua. Ia tak lagi mengenal perkelahian, karena hal itu tampak olehnya sebagai pemainan kakak-kanak. Ia tak kenal jurus, sebab baginya itu tarian. Ia tak emngenal senjata, sebab baginya itu keindahan sepuhan alam. Ia juga tak mengenal penguasaan atau politik pergaulan, sebab padanya itu persekolahan masa silam. Di mata pendekar yang ini, segala yang tampak hanya cinta."
Komentar
Posting Komentar